Cara penyelesaian pembagian hak atas Sapta Ronggo harus tertib

- Sabtu, 1 Januari 2022 | 22:16 WIB
Wihara Sapta Ronggo  (Setiawan Liu)
Wihara Sapta Ronggo (Setiawan Liu)

Betawipos, Jakarta - Upaya musyawarah untuk pembagian warisan berupa bangunan Wihara Sapta Ronggo di Jl. Petojo VIJ III, Gambir Jakarta Pusat adalah solusi yang terbaik, belajar dari berbagai pengalaman serupa tapi tak sama.

Aset bangunan yang lokasinya di belakang ITC Roxy Mas tersebut masih dipegang oleh anak angkat pendiri Sapta Ronggo. Aktivitas persembahyangan sudah drop sejak pendirinya, Suhu Acong (1930 – 1992) meninggal karena sakit.

“Kalau aset Wihara (Sapta Ronggo) mau dihibahkan kepada kepentingan sosial, (pengurus lama Yayasan/anak-anak asuh Suhu Acong) harus rela.

Baca Juga: Budaya makan onde khas Tionghoa masih relevan di tengah jor-joran teknologi informasi

 Administrasi, cara penyelesaian (di luar pengadilan) harus tertib sehingga tidak ada pihak saling gugat,” Hengky Suryawan dari Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) mengatakan kepada Redaksi beberapa waktu yang lalu.

Dua sampai tiga decade (1970 – 1990) merupakan puncak kemasyhuran dan kejayaan Wihara Sapta Ronggo.

 Pendirinya, alm. Yu Sheng-zhong atau Suhu Acong sangat disegani, termasuk kegiatan bakti sosial kepada masyarakat di seputar lokasi Wihara ataupun tempat lain.

Wihara selalu dipadati pengunjung terutama pada hari Kamis untuk persembahyangan. Bahkan mobil yang parkir meluber sampai keluar jalan Petojo VIJ III.

Selain para tuna wisma, pedagang kembang untuk sesajian ini antara lain kembang melati, mawar, kenanga, kantil atau cempaka dan lainnya kelimpahan rezeki. Beberapa umatnya mengimpikan untuk mengembalikan kembali kemasyuran Wihara.

“(pembagian warisan hak atas aset tanah dan bangunan) Sapta Ronggo serupa tapi tak sama dengan Wihara di Tanjungpinang (Prov. Kepulauan Riau/Kepri) yang berlokasi di Batu 14 (jalan lama). (aset) sudah diserahkan kepada Yayasan. Saya diminta menjadi penengah, tapi (persoalannya) Yayasan sudah 20-30 tahun yang lalu, tapi status (Wihara di Tanjungpinang, Kepri) punya perorangan,” kata Tokoh masyarakat dan juga pengusaha PT Bahtera Bestari Shipyard (BBS) Batam Kepri.

Sementara itu, salah seorang umat Buddha yang dulu aktif melakukan persembahyangan di Sapta Ronggo, Ali Wijaya menilai bahwa falsafah bakti terhadap cita-cita luhur masih sangat relevan.

Sama seperti kisah alm. Suhu Acong yang semasa hidupnya mengadopsi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Sepantasnya, anak-anak Almarhum yang sudah dibesarkan, bahkan mengecap pendidikan tinggi bisa melanjutkan cita-cita luluhur.

Falsafah orang Tionghoa, yakni menepati janji orang tua yang masih hidup atau yang sudah meninggal dengan berbagai cara. Falsafah ini tertera dalam setiap ajaran Agama atau tumpuan umat beragama.

Bentuk / cara berbakti kepada orang tua, antara lain melaksanakan nasihat dan perintah. Selain, merawat dengan penuh keikhlasan serta kesabaran juga cara lainnya.

“Kondisi sekarang, anak-anak angkat almarhum Suhu Acong, kerja leyeh-leyeh. Suhu Acong dulunya susah payah mendirikan Wihara, tapi anak-anak angkatnya tidak melanjutkan cita-cita luhur beliau,” kata Ali Wijaya.

Halaman:

Editor: Supri Opa

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Tradisi Dhidis atau Petan, Tradisi Bergosip Jaman Dulu

Senin, 13 Desember 2021 | 17:09 WIB

Kilas Balik Pekan Kebudayaan Nasional, Seperti Apa?

Kamis, 2 Desember 2021 | 10:43 WIB
X